opini  

Minimnya Jumlah Anggota Parlemen Perempuan di Tanah Minang

Logo KPU
Logo KPU

Minangkabau merupakan satu-satunya suku dari sekian banyaknya suku di Indonesia yang menganut sistem kekerabatan matrilineal. Dalam sistem ini kedudukan perempuan sangat ditinggikan dari laki-laki.

Sistem kekerabatan ini menempatkan perempuan pada tempat yang stategis, dilihat dari pengambilan keputusan di Minangkabau yang mengikutsertakan perempuan pada saat rapat. Bukan sekedar hadir, perempuan Minang juga berperan sebagai si pengambil keputusan serta semua saran dan ucapannya pasti akan di dengar dan di pertimbangkan.

Seperti buku yang ditulis dosen Ilmu Politik Unand, Indah Adi Putri yang berjudul Kuasa Politik Perempuan dalam buku ini dijelaskan peran perempuan di Minangkabau sebagai berikut:

Pertama, perempuan Minang itu sebagai penentu garis keturunan dan pembentuk perilaku. Kedua, limpapeh rumah nan gadang (yaitu sebagai pendidik, memperhatikan moral, budi pekerti anak-anaknya, kaum, suku, serta bangsanya); amban puro pagangan kunci (sebagai pengelola keuangan rumah tangga, penguasa pemegang kunci harta pustaka), unduang-unduang ka madinah, payuang panji ka sarugo (pembimbing etika, moral, agama, untuk jalan ke surga).

Ketiga, pemilik harta pustaka. Keempat, bundo kanduang adalah pengontrol kekuasaan, dimana keputusan apapun yang diambil harus dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan bundo kanduang.

Perempuan di Minangkabau dikenal dengan bundo kanduang dan bundo kanduang sangat berperan dalam pengambilan keputusan dalam adat.

Baca Juga  Tantangan Adaptasi Kambing pada Lingkungan Baru

Akan tetapi, sangat disayangkan pada saat ini hanya sedikit orang yang menyadari pentingnya perempuan Minang di sekitarnya dan lambat laun melunturkan nilai yang telah lama melekat di Minangkabau. Saya setuju dengan pendapat di atas seperti yang kita lihat pada saat sekarang dimana perempuan tidak terlalu diikutsertakan dalam kegiatan adat contonya dalam pengambilan keputusan.

Seperti fenomena yang sering kita lihat pada saat sekarang, saat orang Minang mengadakan musyawarah, misalnya musyawarah dalam rangka ingin mengangkat sebuah acara, seperti hendak hajatan pernikahan, sehingga dilakukan rapat oleh kaum, yang dikenal juga dengan istilahnya duduak mamak oleh orang Minang.

Dalam duduak mamak ini yang diundang hanya laki-laki saja, sedangkan perempuan hanya duduk di dapur, sama sekali tidak melibatkan suara perempuan.

Sangat disayangkan bukan, perempuan yang derajatnya tinggi di ranah Minang, akan tetapi jika dibawa ke ranah politik perempuan tidak berdaya sama sekali. Memang menjadi seorang politikus itu tidaklah mudah seperti apa yang kita bayangkan, sebelum menjadi seorang perempuan yang berkarir di bidang politik, membutuhkan waktu, tenaga, serta modal yang besar.

Baca Juga  Jasman Rizal, Berkarir di Rantau, Siap Mengabdi di Kampung Halaman

Dengan waktu, tenaga dan modal yang besar, serta adanya stigma yang menganggap perempuan itu kodratnya hanya di rumah dan tidak mampu mengurus pemerintahan menjadi motivasi bagi perempuan itu untuk meningkatkan valuenya serta menunjukkan bahwasannya perempuan itu bisa berkarir di politik, dan tidak laki-laki saja yang bisa.

Akan tetapi dengan rendahnya partisipasi perempuan di politik dan didukung juga dengan rendahnya keterwakilan perempuan tersebut di parlemen sehingga memperkuat stigma yang ada tadi.

Dengan adanya keterwakilan perempuan di parlemen sangat penting bagi masyarakat, yang mana mereka bisa menyuarakan hak-hak perempuan, menjadi perwakilan suara perempuan di parlemen dan menjadi wadah bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya melalui keterwakilan perempuan tersebut. (Fahmega Elia, Mahasiswa Universitas Andalas, Departemen Ilmu Politik)

Baca berita lainnya di Google News




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *