opini  

Menukar Masa Depan dengan Tradisi yang Usang

Ilustrasi guru mengajar di kelas
Ilustrasi guru mengajar di kelas

Pernikahan dini adalah fenomena sosial yang masih terjadi di berbagai tempat, termasuk Indonesia. Ini merujuk pada pernikahan individu di bawah usia dewasa, biasanya di bawah 18 tahun. Praktik ini sering melibatkan anak perempuan yang terjebak dalam sistem patriarkal, kemiskinan, atau tekanan sosial dan budaya. Meski usaha dilakukan untuk menghapuskan pernikahan dini, praktik ini tetap ada, terutama di daerah pedesaan yang memegang kuat tradisi konservatif.

Isu pernikahan dini terus diperdebatkan. Di satu sisi, praktik ini dipandang sebagai bagian dari tradisi dan alasan ekonomi. Di sisi lain, ini bisa menghancurkan masa depan anak-anak. Pernikahan dini sering dianggap sebagai jalan keluar dari masalah, tetapi lebih sering menjadi perangkap yang menghilangkan hak anak untuk bermimpi dan belajar.

Pernikahan dini masih berlangsung karena dianggap solusi oleh banyak orang. Orang tua dalam tekanan ekonomi melihatnya sebagai cara untuk meringankan beban. Selain itu, kurangnya pengetahuan tentang pentingnya pendidikan dan norma patriarki juga menjadi penyebab utama praktik ini.

Dampak yang dipertaruhkan dari pernikahan dini sangat serius dan menghancurkan bagi individu dan masyarakat. Pernikahan dini dapat mengancam kesehatan anak perempuan, karena mereka sering kali harus hamil di usia muda, berisiko mengalami komplikasi serius dan mengancam nyawa. Bayi yang lahir dari kehamilan ini juga lebih rentan terhadap masalah kesehatan, seperti kelahiran prematur dan kurang gizi.

Selain itu, pernikahan dini berujung pada putus sekolah bagi anak perempuan, menghalangi mereka untuk melanjutkan pendidikan dan membangun masa depan yang lebih baik. Mereka sering kali terpaksa meninggalkan sekolah untuk mengurus rumah tangga, yang membatasi perkembangan pribadi dan profesional mereka.

Tanpa pendidikan, peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sangat rendah, yang menyebabkan mereka terjebak dalam kemiskinan dan berdampak pada generasi berikutnya.

Pernikahan dini juga membawa trauma psikologis yang mendalam. Anak-anak yang menikah muda kehilangan masa kecil mereka, dihadapkan pada tanggung jawab orang dewasa, dan sering mengalami tekanan mental, depresi, serta kekerasan dalam rumah tangga. Ini mengubah hidup mereka menjadi beban yang terlalu berat untuk usia mereka.

Selain itu, tanpa pendidikan dan kesempatan ekonomi, perempuan yang menikah dini cenderung tetap hidup dalam kemiskinan, dan anak-anak mereka tumbuh dalam kondisi yang sama, menciptakan siklus kemiskinan yang sulit diputus.

Secara sosial, pernikahan dini menghentikan perkembangan masyarakat. Dengan anak-anak yang dipaksa menikah, potensi mereka untuk berkontribusi pada pembangunan sosial, ekonomi, dan budaya hilang. Dalam jangka panjang, masyarakat kehilangan generasi muda yang seharusnya menjadi pendorong kemajuan.


Ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk mengatasi pernikahan dini. Pertama, pendidikan adalah senjata terbaik. Anak-anak, terutama perempuan, perlu mendapatkan pendidikan yang layak untuk membuka peluang ekonomi dan melawan norma-norma yang mengekang. Edukasi kepada masyarakat tentang bahaya pernikahan dini juga penting untuk mengubah pola pikir yang ada.

Kedua, penegakan hukum yang tegas diperlukan karena banyak negara memiliki undang-undang melarang pernikahan di bawah umur yang perlu diterapkan. Ketiga, pemberdayaan anak perempuan dan keluarga sangat penting. Program pemberdayaan seperti pelatihan keterampilan dan akses ke sumber daya ekonomi dapat membantu mereka menjadi mandiri dan percaya diri serta mengatasi kemiskinan.

Terakhir, melibatkan pemimpin lokal dan tokoh agama dalam kampanye melawan pernikahan dini sangat efektif untuk mengubah sudut pandang masyarakat. Bayangkan sebuah dunia di mana anak-anak bebas dari tekanan untuk menikah, bisa menjalani masa kecil mereka dengan baik.

Kita semua memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak mereka dan menciptakan masa depan yang lebih baik untuk generasi mendatang. (Rita Putri, Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah dari Universitas Andalas)



Kunjungi Kami di Google News:

google news
Exit mobile version